Dalam kerangka hierarki kebutuhan manusia, kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan menduduki urutan teratas yang wajib dipenuhi. Di antara ketiganya, rumah sebagai elemen utama dari kebutuhan dasar memainkan peran penting sebagai tempat berlindung dari berbagai bahaya dan perubahan cuaca. Namun, di Indonesia, masalah terkait akses ke hunian yang layak masih menjadi tantangan yang cukup kompleks.
Menurut data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, Indonesia kini dihuni oleh sekitar 281,6 juta jiwa. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2000 yang tercatat hanya sekitar 206 juta jiwa, yang berarti populasi Indonesia tumbuh hampir 36% dalam dua dekade lebih. Peningkatan jumlah penduduk ini menggambarkan perkembangan sosial, ekonomi, dan demografi yang terus bergulir di tanah air. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, sekitar 34,75% rumah tangga di Indonesia masih kesulitan untuk mengakses hunian yang layak. Kriteria hunian layak mencakup luas ruang minimal 7,2 m² per orang, akses air bersih, sanitasi yang memadai, dan daya tahan bangunan terhadap bencana.
Sebuah data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia menghadapi backlog perumahan yang mencapai 9,87 juta rumah tangga. Sebagian besar (7,92 juta) dari backlog tersebut terjadi di daerah perkotaan, sementara sisanya, yaitu 1,95 juta, berada di daerah pedesaan. Ketimpangan ini mencerminkan kesenjangan besar antara kebutuhan hunian dan jumlah hunian yang tersedia, terutama di kota-kota besar.
Salah satu hambatan terbesar dalam kepemilikan hunian adalah usia. Generasi muda, khususnya generasi Z dan milenial, menghadapi banyak kesulitan dalam membeli rumah. Mayoritas generasi Z di Jakarta (97,04%) tidak mampu membeli rumah sesuai dengan keinginan mereka. Ketidakseimbangan antara kenaikan harga properti yang melesat hingga 17% per tahun dan peningkatan pendapatan tahunan yang hanya sekitar 10% menyebabkan mereka kesulitan mencapainya.
Harga rumah yang kini rata-rata mencapai Rp600 juta di Jakarta mengharuskan seseorang memiliki penghasilan minimal Rp16 juta per bulan agar bisa memenuhi rasio keterjangkauan. Bagi banyak generasi muda, angka ini tentu jauh dari jangkauan. Aspek-aspek seperti desain rumah, kualitas lingkungan, dan tingkat keamanan menjadi prioritas utama mereka dalam memilih hunian. Namun, lokasi mewah bukanlah faktor yang menjadi pertimbangan utama.
Meskipun pemerintah dan lembaga keuangan memberikan insentif berupa suku bunga rendah dan subsidi uang muka, perbedaan spesifikasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antarbank tidak cukup efektif untuk membantu generasi muda dalam memiliki rumah. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih tepat dan strategis untuk mengatasi masalah besar ini.
Kesempatan untuk memiliki rumah sering kali ditentukan oleh faktor ekonomi keluarga. Bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah, memulai perjalanan menuju kestabilan finansial bisa menjadi tantangan besar. Sebaliknya, individu dari keluarga yang lebih mampu memiliki akses yang jauh lebih mudah terhadap kepemilikan properti, baik melalui warisan, dana uang muka, atau hubungan bisnis di pasar properti.
Kesenjangan ini menciptakan tantangan besar dalam mencapai pemerataan akses terhadap hunian. Salah satu kebijakan yang dapat dijalankan untuk mengurangi ketimpangan ini adalah penerapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) secara progresif. Kebijakan ini, jika diterapkan dengan tepat, bisa membantu meratakan akses masyarakat terhadap rumah.
Konsep tarif progresif BPHTB menawarkan pendekatan di mana rumah pertama yang dimiliki oleh seseorang dikenakan tarif yang lebih rendah, bahkan bisa dibebaskan, dengan tujuan untuk memberikan peluang kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Negara-negara seperti Singapura dan Hong Kong telah berhasil menerapkan kebijakan serupa, yang terbukti efektif dalam mengurangi ketimpangan akses perumahan.
Untuk rumah kedua dan seterusnya, tarif BPHTB dapat dikenakan lebih tinggi, untuk mencegah spekulasi pasar properti yang merugikan. Berikut adalah rincian tentang bagaimana tarif progresif ini bisa diterapkan:
Rumah Pertama
Rumah Kedua
Rumah Ketiga dan Selanjutnya
Beberapa negara telah berhasil menerapkan kebijakan serupa dengan hasil yang positif:
Penerapan tarif progresif BPHTB di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi spesifik di tanah air, antara lain:
Kemampuan Pembayaran Masyarakat
Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Pengawasan dan Implementasi
Peningkatan Pendapatan Daerah
Mengurangi Spekulasi Properti
Akses yang Lebih Luas untuk Hunian
Penerapan tarif progresif BPHTB di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengatasi ketimpangan akses terhadap hunian yang layak, serta menciptakan kestabilan pasar properti. Dengan penerapan pengawasan yang ketat dan sistem registrasi yang terintegrasi, kebijakan ini dapat berfungsi tidak hanya sebagai alat fiskal, tetapi juga sebagai sarana sosial yang mendukung pemerataan kepemilikan rumah.
2025-05-13 09:56:06
2025-05-09 14:06:17
2025-05-07 10:01:28
2025-05-05 16:20:23
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved