Di ranah perpajakan Indonesia, warisan menempati posisi khusus. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan—yang tetap berlaku melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021—dinyatakan secara eksplisit bahwa warisan bukanlah objek Pajak Penghasilan (PPh).
Dengan kata lain, saat seseorang meninggal dan meninggalkan aset untuk ahli warisnya, negara tidak secara otomatis mengenakan PPh atas harta yang diterima tersebut.
Namun, pembebasan pajak ini tidak bersifat menyeluruh. Meskipun penerimaan warisan bebas dari PPh secara langsung, sejumlah kewajiban pajak tetap bisa muncul tergantung bentuk warisan dan peristiwa hukum yang menyertainya.
Beberapa jenis pajak yang bisa dikenakan dalam konteks warisan antara lain:
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): Jika warisan berupa properti, maka ahli waris tetap wajib membayar BPHTB sesuai ketentuan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
PPh atas hasil pengelolaan warisan: Misalnya, pendapatan dari sewa rumah warisan atau laba dari bisnis keluarga tetap dikenakan pajak penghasilan.
Pajak atas hibah antar ahli waris: Dalam kondisi tertentu, pemberian harta antar sesama ahli waris juga bisa dikenakan pajak, kecuali memenuhi syarat tertentu untuk pembebasan.
Salah satu keluhan yang sering muncul di masyarakat adalah bahwa aset yang diwariskan telah dikenai pajak sebelumnya, saat pertama kali diperoleh atau dibeli. Oleh karena itu, dianggap tidak adil jika harus dikenai pajak kembali saat diwariskan.
Namun, perspektif hukum pajak melihatnya berbeda. Yang dikenakan pajak bukan harta yang sama untuk kedua kalinya, melainkan atas peristiwa hukum yang berlainan. Misalnya:
Ketika rumah dibeli, PPh dikenakan atas penghasilan yang digunakan.
Ketika rumah tersebut diwariskan, BPHTB dikenakan atas peralihan hak kepemilikan kepada ahli waris.
Secara teknis, tidak ada pajak berganda karena:
Objek pajaknya berbeda: Penghasilan vs perolehan hak.
Subjek pajaknya pun berbeda: Pewaris vs ahli waris.
Peristiwa hukumnya berlainan: Transaksi penghasilan vs peralihan warisan.
Meski begitu, di tingkat masyarakat, terutama dalam situasi emosional seperti kematian, penjelasan teknis ini sulit diterima. Terlebih jika aset yang diwariskan bersifat tidak likuid dan membutuhkan biaya besar untuk pemeliharaan atau perpajakan.
Tantangan terbesar yang dihadapi ahli waris seringkali berkaitan dengan keterbatasan likuiditas. Aset seperti rumah atau usaha keluarga mungkin tidak mudah dijual atau dicairkan dalam waktu singkat, sementara pajak harus dibayar segera.
Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
Skema cicilan pajak: Memberi kelonggaran bagi ahli waris untuk membayar pajak secara bertahap agar tidak harus menjual aset dengan tergesa-gesa.
Ambang batas nilai warisan: Menetapkan nilai minimum tertentu di bawah mana warisan tidak dikenai pajak, demi melindungi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah.
Keringanan pajak untuk usaha keluarga: Tarif khusus atau insentif fiskal bisa membantu menjaga keberlanjutan usaha keluarga yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Langkah-langkah seperti ini tidak hanya berfungsi sebagai peringan beban finansial, tetapi juga sebagai upaya menciptakan sistem pajak yang lebih manusiawi dan berkeadilan sosial.
Pajak warisan bukan hanya soal fiskal. Ia menyentuh ranah moral dan keadilan antargenerasi. Apakah generasi penerus berhak atas warisan orang tuanya secara penuh, ataukah mereka harus berbagi sebagian dengan negara dalam bentuk pajak?
Di satu sisi, pajak warisan dapat menjadi instrumen untuk meredam kesenjangan ekonomi—menjadi alat redistribusi kekayaan yang memperkuat pemerataan. Namun di sisi lain, jika tidak diatur secara bijaksana, pajak ini justru berisiko memberatkan generasi muda yang tidak siap secara finansial.
Oleh karena itu, desain kebijakan pajak warisan harus memperhitungkan dua hal sekaligus: perlindungan terhadap aset keluarga, dan keadilan bagi masyarakat secara luas.
Pembicaraan soal warisan tidak bisa dilepaskan dari emosi, nilai, dan rasa kehilangan. Maka dari itu, penting bagi sistem perpajakan untuk hadir bukan hanya sebagai penagih, tapi juga sebagai fasilitator keadilan.
Diskusi mengenai pajak warisan perlu terus digalakkan secara terbuka. Keadilan fiskal bukan sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari keberanian menghadapi dilema, menyusun kebijakan berdasarkan empati, dan menciptakan sistem yang berpihak pada keberlanjutan antargenerasi.
2025-05-21 09:30:02
2025-05-16 12:10:38
2025-05-15 09:52:50
2025-05-13 09:56:06
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved