Perkembangan ekonomi digital yang pesat telah membawa tantangan baru dalam kebijakan perpajakan global. Salah satu respons yang muncul untuk menghadapi tantangan ini adalah kebijakan pajak Global Minimum Tax (GMT) atau yang juga dikenal sebagai "Global Anti-Base Erosion" (GloBE). Aturan GMT pertama kali dirilis pada 20 Desember 2021 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai bagian dari Pilar Dua dari solusi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Dengan persetujuan dari 137 yurisdiksi dalam Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20, dan dukungan dari Menteri Keuangan serta para pemimpin G20 pada Oktober 2021, aturan ini dirancang untuk memperkuat sistem perpajakan global dan mengurangi penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional melalui skema lintas negara.
GMT bukan sekadar inisiatif pajak biasa. Tujuan utamanya adalah untuk meminimalkan praktik pengalihan keuntungan (profit shifting) oleh perusahaan-perusahaan besar ke negara-negara dengan tarif pajak rendah atau bebas pajak. Dalam penerapannya, GMT menetapkan tarif pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari EUR 750 juta. Kebijakan ini diharapkan dapat menutup celah yang sebelumnya dimanfaatkan oleh perusahaan besar untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Dengan tarif minimum ini, negara-negara asal perusahaan akan dapat memungut tambahan pajak (top-up tax) jika tarif efektif di negara tempat anak perusahaan berada lebih rendah dari batas minimum. Upaya ini ditujukan untuk menciptakan persaingan yang lebih adil dan mendorong stabilitas di sektor investasi lintas negara.
Penerapan GMT menjadi perhatian utama di berbagai negara, termasuk di kawasan ASEAN yang memiliki dinamika perpajakan yang unik. Beberapa negara ASEAN telah merumuskan regulasi dan kebijakan baru untuk menyelaraskan diri dengan aturan GMT yang akan efektif mulai Januari 2025. Misalnya, Thailand telah mengeluarkan Top-Up Tax Act berdasarkan resolusi kabinet tanggal 7 Maret 2023, yang memuat aturan mengenai Income Inclusion Rule (IIR), Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), serta Undertaxed Profits Rule (UTPR). Rangkaian ketentuan ini dilengkapi dengan perubahan tax holiday yang menjadi sebesar 50% dan perpanjangan insentif maksimal hingga 10 tahun, yang akan mulai berlaku awal 2025.
Malaysia juga mengikuti jejak tersebut dengan menyusun regulasi di bawah Finance (No. 2) Act 2023, yang mencakup IIR dan QDMTT sebagai bentuk penyesuaian dengan Pilar Dua BEPS, yang dijadwalkan mulai berlaku pada tahun 2025. Singapura, di sisi lain, masih dalam tahap finalisasi Rancangan Undang-Undang Pajak Minimum untuk Perusahaan Multinasional, yang mencakup ketentuan tentang QDMTT dan IIR, yang nantinya akan diintegrasikan dalam Income Tax Act 1947 (ITA). Langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara ini menunjukkan keseriusan mereka untuk memperkuat sistem perpajakan dan meningkatkan transparansi dalam menarik investasi asing.
Berbeda dengan beberapa negara ASEAN lainnya, Indonesia hingga saat ini belum mengeluarkan regulasi resmi terkait penerapan GMT. Namun, ada potensi besar bahwa GMT akan berdampak signifikan pada pemberian insentif fiskal di Indonesia, terutama dalam bentuk Tax Holiday yang selama ini menjadi andalan dalam menarik investasi asing. Dengan adanya GMT, perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan tahunan di atas EUR 750 juta akan dikenakan top-up tax di negara asalnya apabila tarif pajak efektif di Indonesia lebih rendah dari 15%. Hal ini berpotensi mengurangi daya tarik insentif Tax Holiday yang memberikan pembebasan pajak hingga 100%.
Dampak dari aturan GMT terhadap insentif di setiap negara memang bervariasi. Di beberapa negara, GMT bisa mengurangi efektivitas dari skema insentif karena menyebabkan tarif pajak efektif (Effective Tax Rate/ETR) turun di bawah ambang batas minimum. Sebagai contoh, Singapura telah mengambil langkah antisipatif dengan memperkenalkan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC), yang dirancang untuk menggantikan insentif pajak konvensional. Tidak seperti insentif yang menurunkan ETR, QRTC justru meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga penurunan ETR menjadi lebih kecil dan top-up tax juga lebih sedikit. QRTC ini berfungsi sebagai pilihan insentif alternatif yang mendukung pertumbuhan di sektor penelitian dan pengembangan (R&D) atau proyek-proyek keberlanjutan iklim, yang sejalan dengan komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan.
Untuk menyesuaikan diri dengan tren global dan mempertahankan daya tarik investasi, Indonesia dapat mempertimbangkan skema insentif baru yang lebih kompatibel dengan aturan GMT. Beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan termasuk Qualified Refundable Tax Credit (QRTC), cash grant atau subsidi tunai, dan Marketable Refundable Tax Credit (MRTC). Insentif-insentif ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi perusahaan untuk tetap mendapatkan manfaat fiskal tanpa melanggar aturan GMT.
Selain itu, pemerintah juga dapat menawarkan insentif alternatif yang lebih moderat, sehingga dampak GMT bisa dikendalikan. Hingga tersedia pengganti insentif Tax Holiday yang lebih sesuai, beberapa insentif fiskal yang dapat dimanfaatkan investor di Indonesia antara lain:
Dampak Moderat:
Dampak Rendah atau Tidak Terpengaruh:
Dalam menghadapi penerapan GMT, Indonesia memiliki tantangan untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan domestik dengan standar internasional tanpa mengorbankan daya tarik investasi asing. Dengan belajar dari pendekatan yang diambil oleh negara-negara tetangga, Indonesia dapat mempertimbangkan skema insentif baru yang tidak hanya mematuhi GMT tetapi juga mampu menarik minat investor global. Menawarkan insentif yang sesuai dan kompatibel dengan aturan GMT akan sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus memastikan penerimaan pajak tetap optimal di era globalisasi ini.
2025-06-16 15:39:49
2025-06-11 16:29:51
2025-06-06 06:40:08
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved