Artikel Detail

Hati-hati, PKP Tidak Patuh Berisiko Diblokir dari Akses Faktur Pajak

DJP Perkuat Pengawasan Pajak: Akses Pembuatan Faktur Pajak Kini Bisa Dinonaktifkan


Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan modernisasi dalam pengawasan dan penegakan kepatuhan perpajakan melalui pendekatan digital. Salah satu kebijakan terbaru yang dikeluarkan adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 19 Tahun 2025, yang memberikan dasar hukum bagi DJP untuk menutup akses pembuatan Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Aturan ini merupakan implementasi teknis dari kewenangan yang tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 beserta perubahannya, terakhir melalui PMK Nomor 54 Tahun 2025.


Tujuan kebijakan ini ialah memberikan kepastian hukum sekaligus mempertegas sanksi administratif bagi PKP yang tidak patuh, dengan mengatur secara jelas kondisi yang dapat menyebabkan akses Faktur Pajak dinonaktifkan.



Kriteria PKP yang Dapat Dinonaktifkan Akses Faktur Pajaknya


Dalam Pasal 2 ayat (1) PER-19/PJ/2025, DJP diberi kewenangan untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap PKP yang dianggap tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya. Beberapa indikator ketidakpatuhan tersebut meliputi:


  1. Tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak selama tiga bulan berturut-turut.

  2. Tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh.

  3. Tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama tiga bulan berturut-turut.

  4. Tidak melaporkan SPT Masa PPN untuk enam masa pajak dalam satu tahun kalender.

  5. Tidak menyampaikan bukti potong atau pungut pajak selama tiga bulan berturut-turut.

  6. Memiliki tunggakan pajak dengan nilai minimum:

    • Rp250.000.000 untuk WP di KPP Pratama.

    • Rp1.000.000.000 untuk WP di KPP Madya, KPP Wajib Pajak Besar, atau KPP lainnya.


PKP yang telah menerima surat teguran dan tidak memiliki persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak yang masih berlaku dapat dikenakan tindakan ini. Penonaktifan dilakukan oleh Kepala KPP atas mandat Direktur Jenderal Pajak, disertai pemberitahuan resmi kepada wajib pajak mengenai alasan dan hak untuk melakukan klarifikasi.



Hak Wajib Pajak untuk Mengajukan Klarifikasi


Meskipun akses telah dinonaktifkan, PKP tetap diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan. Klarifikasi diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar, dengan melampirkan bukti bahwa kewajiban perpajakan telah dipenuhi, berupa:


  • Bukti pemotongan/pemungutan serta pelaporan pajak untuk periode tiga bulan.

  • Bukti penerimaan SPT Tahunan PPh.

  • Bukti penyampaian SPT Masa PPN selama tiga bulan berturut-turut atau enam masa pajak dalam satu tahun.

  • Bukti pelunasan tunggakan pajak atau salinan keputusan persetujuan angsuran/penundaan.


Melalui mekanisme ini, DJP menjamin bahwa wajib pajak tetap memiliki ruang untuk membuktikan kepatuhannya.



Proses Penelitian dan Pengaktifan Kembali Akses


Setelah menerima klarifikasi, Kepala KPP harus melakukan penelitian dan mengeluarkan keputusan paling lambat lima hari kerja:


  • Jika klarifikasi dinilai valid, akses pembuatan Faktur Pajak langsung dipulihkan.

  • Jika ditolak, status penonaktifan tetap berlaku hingga wajib pajak memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya.


Menariknya, apabila KPP tidak memberikan keputusan dalam batas waktu lima hari kerja, sistem akan mengaktifkan kembali akses secara otomatis. Namun, bila kemudian ditemukan bahwa WP masih memenuhi kriteria pelanggaran, KPP berhak menonaktifkannya kembali.



Penutup


Peraturan Dirjen Pajak Nomor 19 Tahun 2025 memperkuat peran DJP sebagai penjaga ketertiban administrasi perpajakan nasional. Dengan penerapan sistem digital yang transparan dan prosedur klarifikasi yang tetap menjunjung keadilan, diharapkan kebijakan ini mampu meningkatkan kepatuhan sukarela, menekan ruang pelanggaran, serta memperkuat kredibilitas sistem perpajakan Indonesia.