Artikel Detail

Mengurai Keterkaitan Shadow Economy, Kapasitas Pajak, dan Ekspansi Ekonomi

Tantangan Fiskal Indonesia: Rendahnya Tax Ratio dan Besarnya Shadow Economy


Di tengah pesatnya pembangunan dan optimisme pertumbuhan ekonomi nasional, Indonesia masih berhadapan dengan persoalan mendasar yang kerap kurang menjadi fokus pembahasan publik: rendahnya rasio pajak (tax ratio) serta ukuran ekonomi bayangan (shadow economy) yang sangat besar. Kedua isu ini tidak berdiri sendiri—keduanya saling memengaruhi dan harus dipahami sebagai satu kesatuan tantangan strategis apabila Indonesia ingin mencapai kemandirian fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.



Tax Ratio: Indikator Penting Kapasitas Fiskal Negara


Tax ratio—yakni perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB)—mampu menggambarkan seberapa kuat kemampuan negara dalam mengumpulkan sumber daya pembangunan. Semakin tinggi tax ratio, semakin besar ruang pemerintah untuk membiayai infrastruktur, program sosial, dan menjaga stabilitas ekonomi tanpa ketergantungan besar pada utang.


Namun, posisi Indonesia masih tertinggal jauh. Pada 2022, tax ratio Indonesia hanya sekitar 10,38%, terpaut lebar dari rata-rata Asia Pasifik yang mencapai 19,3%, dan jauh di bawah standar OECD yang menembus 34%. Tren ini bahkan terus menurun, dengan tax ratio pada 2024 tercatat sekitar 10,07%—lebih rendah dibandingkan Thailand, Vietnam, dan Singapura. Target tahun 2025 pun tidak menunjukkan perbaikan berarti, yakni hanya 10,03%.


Angka yang kecil ini menciptakan keterbatasan besar bagi negara. Tanpa penerimaan yang memadai, sulit bagi pemerintah untuk mengembangkan layanan publik berkualitas, memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi, serta mendorong Indonesia naik kelas menjadi negara maju.



Shadow Economy: Tantangan Senyap dalam Sistem Fiskal


Salah satu penyebab utama rendahnya tax ratio adalah besarnya aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau tidak tercakup dalam sistem perpajakan resmi. Shadow economy di Indonesia sangat erat dengan sektor informal yang mendominasi lapangan kerja nasional.


Berbagai kajian memperkirakan ukuran shadow economy Indonesia berkisar 30–40% dari PDB. Selain itu, tax gap—selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak—juga mengkhawatirkan. Pada 2019, tax gap PPh diperkirakan mencapai 42%, dan untuk kelompok non-pegawai bahkan mendekati 80%. Dengan sekitar 60% tenaga kerja nasional berada di sektor informal, tidak mengherankan jika banyak aktivitas ekonomi lolos dari pajak.


Karakteristik shadow economy di Indonesia mencakup banyaknya usaha mikro dan kecil yang tidak terdaftar, transaksi tunai yang sulit dilacak, lemahnya kepatuhan regulasi, serta minimnya perlindungan hukum dan sosial bagi para pelakunya. Walaupun sektor ini sering dilihat sebagai penyerap tenaga kerja, dalam jangka panjang ia justru menciptakan ketimpangan dan menghambat peningkatan kualitas SDM.



Dampak Buruk Shadow Economy terhadap Ekonomi Nasional


  1. Menurunnya Penerimaan Pajak
    Besarnya aktivitas ekonomi yang tidak terekam membuat negara kehilangan potensi pajak dalam jumlah besar, padahal dana tersebut dibutuhkan untuk pembangunan jangka panjang.

  2. Persaingan Usaha Tidak Seimbang
    Pelaku usaha formal yang menanggung beban pajak dan regulasi harus bersaing dengan pelaku informal yang beroperasi tanpa biaya kepatuhan, menciptakan distorsi pasar.

  3. Ketidakadilan Sosial Meningkat
    Pekerja sektor informal tidak memiliki jaminan sosial maupun perlindungan hukum yang layak, sehingga rentan terhadap eksploitasi.

  4. Kualitas Data Ekonomi Menurun
    PDB dan indikator penting lainnya menjadi kurang akurat, menyulitkan perumusan kebijakan publik yang efektif.

  5. Tata Kelola Lemah dan Norma Kepatuhan Merosot
    Semakin besar shadow economy, semakin sulit menanamkan budaya taat aturan dan kepercayaan publik pada lembaga negara.



Mendorong Tax Ratio Melalui Strategi Formalisasi


Meningkatkan tax ratio bukan hanya soal menaikkan tarif atau memperketat penegakan hukum, melainkan juga bagaimana membawa aktivitas ekonomi bayangan ke dalam sektor formal. Pendekatan yang lebih strategis meliputi:


1. Penyederhanaan Regulasi dan Pemberian Insentif Nyata


Prosedur perpajakan dan perizinan bagi UMKM harus jauh lebih sederhana. Insentif berupa akses pembiayaan, pelatihan, dan perlindungan sosial perlu diberikan agar pelaku usaha informal melihat manfaat langsung dari bergeser ke sektor formal. Digitalisasi perpajakan seperti CTAS harus dirancang untuk mempermudah, bukan menambah beban administrasi.


2. Memperluas Basis Pajak dengan Tarif yang Realistis


Alih-alih membebani kelompok yang sama, basis pajak perlu diperluas secara bertahap. Pajak konsumsi seperti PPN dapat menangkap sebagian aktivitas ekonomi informal selama transaksi akhirnya masuk dalam sistem penjualan. Data transaksi digital dan e-commerce juga bisa menjadi pintu masuk untuk menjaring pelaku ekonomi baru.


3. Kebijakan Pajak atas Aktivitas Shadow yang Legal


Sektor informal di Indonesia sebagian besar menghasilkan aktivitas ekonomi yang legal, hanya tidak tercatat. Kebijakan pajak sederhana dan final dapat menjadi langkah awal untuk membawa mereka ke dalam sistem tanpa menuntut formalisasi penuh sejak awal.



Keadilan Fiskal sebagai Pondasi Kesejahteraan


Meningkatkan tax ratio hanya mungkin jika ekonomi bayangan semakin mengecil dan sektor formal menjadi tempat yang lebih menarik dan menguntungkan bagi pelaku usaha. Reformasi harus menyeimbangkan tujuan penerimaan negara dengan asas keadilan, kemudahan, dan inklusivitas.


Adapun aktivitas ekonomi yang benar-benar ilegal—seperti perdagangan narkoba, penebangan liar, judi online, hingga perdagangan manusia—tidak boleh dilegitimasi melalui pemajakan. Namun, jika pelaku kejahatan tersebut tertangkap, pemajakan atas penghasilan ilegal yang sudah terlanjur diperoleh dapat diterapkan sebagai bagian dari penegakan hukum.


Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memperkuat kemandirian fiskal dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya cepat, tetapi juga berkeadilan dan berkelanjutan.