Pada era otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah kini memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya fiskal yang harus dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan lokal. Meskipun pemerintah pusat memberikan alokasi anggaran khusus untuk daerah, hal ini tidak seharusnya membuat pemerintah daerah terlalu bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sektor, termasuk pajak, retribusi, dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Optimalisasi PAD tidak hanya memberi manfaat bagi pemerintah daerah, tetapi juga memberi ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada program-program strategis nasional. Dengan meningkatnya kemandirian fiskal daerah, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting, agar kebijakan yang diterbitkan tidak tumpang tindih dan malah memperlemah potensi pajak daerah. Maka, setiap kebijakan fiskal perlu diselaraskan agar mendukung upaya menguatkan kekuatan pajak lokal.
Kontroversi Kenaikan Tarif Pajak Hiburan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) menghadirkan kontroversi, terutama terkait dengan kenaikan tarif pajak hiburan yang berlaku bagi beberapa sektor hiburan. Sejumlah pengusaha hiburan malam—termasuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa—merasa resah karena tarif pajak yang meningkat tajam, hingga mencapai 40 persen hingga 75 persen. Pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menetapkan tarif dalam rentang ini, tergantung pada kondisi fiskal masing-masing daerah. Sementara itu, jenis hiburan lainnya mengalami penurunan tarif pajak dari 35 persen menjadi 10 persen. Pertanyaannya adalah, apakah batas minimal 40 persen cukup mewakili kondisi fiskal seluruh daerah?
Kenaikan tarif ini memicu protes dari para pengusaha di daerah yang sangat bergantung pada hiburan malam sebagai sumber pendapatan utama, seperti Kabupaten Badung di Bali. Sebagai respons, beberapa daerah, termasuk Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, akhirnya melakukan relaksasi dengan menurunkan tarif pajak hiburan menjadi 15 persen untuk mendukung iklim usaha yang lebih kompetitif. Berbeda dengan daerah tersebut, kota-kota seperti Surakarta, Yogyakarta, dan Mataram sudah memberlakukan tarif pajak sebesar 40 persen, sementara Bandung, Bogor, Sukabumi, dan Surabaya menetapkan tarif hingga 50 persen. Bahkan beberapa kota seperti Aceh Besar dan Depok menaikkan tarif hingga 75 persen.
Variasi dalam penerapan tarif pajak hiburan di berbagai daerah menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki kekuatan pajak yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh kondisi dan karakteristik lokal. Karena itu, rentang tarif yang ditetapkan antara 40 persen hingga 75 persen tidak sepenuhnya mencerminkan kemandirian fiskal daerah, khususnya di Bali, karena tidak memperhitungkan keunikan ekonomi setempat.
Kenaikan Tarif Pajak Hiburan: Apa Tujuannya?
Pemerintah pusat sengaja menaikkan tarif pajak hiburan malam, sementara menurunkan tarif pajak untuk jenis hiburan lainnya, dengan tujuan untuk mengurangi aktivitas hiburan malam. Menurut beberapa pengamat pajak, kebijakan ini didasarkan pada asumsi bahwa hiburan malam lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan tertentu. Namun, ada yang mempertanyakan logika ini, karena jenis hiburan lain—seperti kontes kecantikan atau pacuan kuda—yang juga dikonsumsi oleh kalangan tertentu, tidak dikenakan pajak dengan tarif serupa. Beberapa pengamat bahkan berspekulasi bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk menekan kegiatan ilegal, seperti perjudian, yang sering ditemukan di tempat-tempat hiburan malam.
Dugaan ini didukung oleh mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Tempat Hiburan Jakarta yang mengungkapkan bahwa sekitar 75 persen tempat hiburan di Jakarta terlibat dalam aktivitas ilegal seperti perjudian, narkoba, dan prostitusi. Namun, jika tarif pajak hiburan digunakan sebagai cara untuk menanggulangi aktivitas ilegal, kebijakan ini tampaknya kurang efektif, mengingat perjudian saat ini lebih banyak beralih ke platform daring dan tidak terjadi di tempat hiburan malam. Sebaliknya, kebijakan ini justru dapat menyebabkan berkembangnya bar ilegal dan meningkatnya pengangguran karena bar-bar legal kesulitan bersaing.
Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Penerapan tarif pajak hiburan yang meningkat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keraguan terkait alasan kenaikan pajak, dampak negatif pada industri hiburan, hingga ketidaksesuaian kebijakan dengan karakter fiskal daerah tertentu. Melihat contoh dari negara lain yang mengenakan pajak langsung atas kegiatan perjudian, seperti Singapura dan Makau, sebaiknya pemerintah pusat yang menangani pajak atas sektor perjudian, bukan pemerintah daerah. Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan langsung pada operator perjudian lebih sesuai untuk mengatasi permasalahan ini.
Menghadapi berbagai masalah tersebut, sebaiknya kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan diuji lebih lanjut melalui proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengkaji keseimbangan antara kepentingan fiskal pemerintah dan keberlangsungan industri hiburan yang berperan besar dalam perekonomian daerah. Hasil judicial review yang diterbitkan pada 3 Januari 2025 menunjukkan bahwa MK mengabulkan sebagian permohonan, dengan beberapa pasal dalam UU HKPD yang dinyatakan tidak berlaku, meski keputusan ini belum sepenuhnya memuaskan pengusaha karena hanya spa yang dikeluarkan dari kategori hiburan yang dikenakan pajak tinggi.
2025-09-10 14:13:01
2025-09-08 14:39:30
2025-09-05 10:38:07
2025-09-03 15:20:02
2025-09-01 15:59:43
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved