Artikel Detail

Mekanisme Pemungutan PPN Non PKP oleh Instansi Pemerintah di Masa Transisi Coretax

Tantangan Implementasi Coretax di Lingkungan Instansi Pemerintah dan Implikasinya terhadap Transaksi dengan Rekanan Non PKP


Pada tahap awal penerapan sistem Coretax, banyak Instansi Pemerintah mengalami kebingungan yang cukup kompleks. Mulai dari proses aktivasi akun, penunjukan penanggung jawab (PIC), hingga tata cara pembayaran serta pelaporan pajak, semuanya berubah signifikan. Sistem ini secara otomatis mewajibkan kepatuhan yang lebih ketat bagi Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak, tidak hanya dalam menyetorkan pajak, tetapi juga dalam pelaporannya. Hal ini karena Coretax secara sistemik mengintegrasikan proses pembayaran dengan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Perubahan sistem ini memicu kebingungan di kalangan bendahara instansi, khususnya dalam menghadapi skema dan teknis baru tersebut.


Fenomena menarik terjadi saat awal 2025, ketika diadakan sosialisasi Coretax kepada instansi-instansi di wilayah Kota Bekasi. Sejumlah pertanyaan krusial muncul, terutama mengenai perlakuan pajak terhadap rekanan usaha kecil seperti UMKM yang belum berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (Non PKP). Pertanyaannya, apakah dalam transaksi dengan Non PKP pemerintah tetap harus memungut dan melaporkan PPN? Jika tidak, apakah hal itu justru akan melemahkan dukungan terhadap pelibatan UMKM dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah?


Untuk menjawab hal tersebut, perlu ditinjau terlebih dahulu dasar hukum pengenaan PPN. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, sebagaimana diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, PPN dikenakan atas beberapa hal, di antaranya:


  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha dalam wilayah Indonesia (Daerah Pabean).

  2. Impor BKP.

  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha dalam negeri.

  4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar negeri di dalam negeri.

  5. Pemanfaatan JKP dari luar negeri di dalam negeri.

  6. Ekspor JKP oleh PKP.


Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa PPN tidak hanya dikenakan atas transaksi yang dilakukan oleh PKP, tetapi juga dapat berlaku terhadap Pengusaha yang semestinya sudah menjadi PKP meskipun belum dikukuhkan secara resmi. Dengan demikian, transaksi yang dilakukan oleh rekanan Non PKP tetap dapat menjadi objek PPN.


Selain itu, peran aktif Instansi Pemerintah sebagai pemungut PPN ditegaskan dalam PMK Nomor 59/PMK.03/2022 sebagai perubahan atas PMK Nomor 231/PMK.03/2019. Di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur bahwa:


  • Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN/PPnBM atas penyerahan BKP/JKP dari rekanan PKP (Pasal 16 ayat 1).

  • Kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak tersebut dipegang oleh instansi (Pasal 16 ayat 2).

  • Pengecualian pemungutan berlaku dalam kondisi tertentu, misalnya untuk transaksi di bawah Rp2 juta, pembayaran menggunakan kartu kredit pemerintah, atau pengadaan tanah (Pasal 18 ayat 1).


Beranjak ke isu utama, bagaimana prosedur pemungutan dan pelaporan PPN ketika instansi pemerintah melakukan transaksi dengan pengusaha Non PKP, termasuk UMKM? Hal ini telah diatur dalam Pasal 126 PER-11/PJ/2025 yang menjelaskan bahwa:


  • Instansi Pemerintah tetap memiliki kewajiban memungut PPN dari nilai transaksi barang/jasa yang dibeli dari Non PKP (ayat 1).

  • PPN tersebut disetorkan ke kas negara melalui Surat Setoran Pajak (SSP) dengan kode akun 411211 dan jenis setoran 108 (ayat 2).

  • Bukti SSP yang digunakan diperlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf i (ayat 3).

  • Jika Instansi Pemerintah telah dikukuhkan sebagai PKP, maka wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam SPT Masa PPN. Namun jika tidak, maka cukup dengan melakukan penyetoran saja, tanpa wajib melapor dalam SPT (ayat 4).


Kesimpulan:


Berdasarkan regulasi yang berlaku, transaksi dengan rekanan Non PKP, termasuk UMKM, tetap dapat dikenai PPN. Instansi Pemerintah wajib memungut dan menyetorkan PPN atas transaksi semacam ini, selama nilai transaksi tidak termasuk dalam kategori pengecualian (misalnya di bawah Rp2 juta dan bukan pemecahan transaksi). Pelaporan dilakukan sesuai status instansi tersebut sebagai PKP atau bukan. Bagi instansi yang berstatus PKP, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN, sedangkan yang bukan PKP dianggap telah melapor setelah melakukan penyetoran.