Artikel Detail

Penggunaan Kode 21-100-38 dalam Bukti Pemotongan Tambahan BP21

DJP Terbitkan Aturan Baru: Penyederhanaan Pelaporan Pajak dan Penggunaan Kode Objek Pajak Baru


Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 yang mengatur pelaporan atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Bea Meterai. Peraturan ini mulai berlaku sejak 22 Mei 2025 dan merupakan bagian dari upaya implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah perubahan ketentuan terkait PPh Pasal 21.


Tugas dan Hak Pemotong Pajak


Dalam Pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa pemotong pajak kini memiliki kewajiban untuk:


  • Membuat Bukti Pemotongan (Bupot) PPh Pasal 21/26,

  • Menyerahkan Bupot kepada pihak yang dipotong,

  • Melaporkan Bupot melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26.


Selain itu, pemotong pajak juga diberikan hak untuk melakukan koreksi atau pembatalan Bupot, termasuk membuat tambahan Bupot jika diperlukan. Mereka juga dapat melakukan pembetulan atas SPT yang sudah dilaporkan, secara sukarela.


Penyederhanaan Formulir Bupot


Regulasi terbaru ini juga menyederhanakan bentuk Bupot PPh Pasal 21/26 menjadi hanya empat jenis formulir:


  1. BPA1 – Untuk pegawai tetap dan pensiunan yang menerima uang pensiun berkala.

  2. BPA2 – Untuk PNS, anggota TNI/Polri, pejabat negara, dan pensiunan mereka.

  3. BP21 – Untuk penghasilan yang bersifat final maupun tidak final.

  4. BP26 – Untuk penghasilan yang dikenai PPh Pasal 26 (penghasilan luar negeri).


Kode Objek Pajak Baru: 21-100-38


DJP juga memperkenalkan kode objek pajak baru: 21-100-38, digunakan untuk mencatat penyesuaian nilai kompensasi dari masa pajak sebelumnya. Kode ini berlaku saat Wajib Pajak perlu melakukan koreksi atas kelebihan kompensasi yang pernah dilaporkan, misalnya koreksi dari Desember 2024 yang berdampak pada SPT Januari 2025 dan seterusnya.


Simulasi Kasus


Berikut ini contoh alur penggunaan kode tersebut:


  1. Desember 2024, Wajib Pajak melaporkan SPT Masa dengan status lebih bayar sebesar Rp25.000.000.

  2. Di bulan Januari 2025, kompensasi tersebut dimanfaatkan, sehingga SPT menunjukkan lebih bayar Rp17.000.000.

  3. Februari 2025, dilakukan pembetulan terhadap SPT Desember 2024, yang menyatakan kelebihan bayar hanya Rp10.000.000. Artinya, ada selisih Rp15.000.000 yang harus diperhitungkan kembali.


Selisih ini dicatat sebagai kekurangan bayar dan wajib diakomodasi oleh Wajib Pajak, baik melalui pembayaran langsung atau lewat penyusunan Bupot BP21 tambahan dengan kode 21-100-38.


Pilihan Wajib Pajak


Mengacu pada Lampiran PER-11/PJ/2025 poin A.5.b, Wajib Pajak memiliki tiga opsi:


a. Membayar kekurangan sebesar selisih tersebut tanpa perlu membetulkan SPT bulan-bulan setelahnya,
b. Membuat Bupot tambahan (BP21) di masa pajak berikutnya menggunakan kode 21-100-38,
c. Bebas sanksi administratif, jika pembetulan dilakukan karena kekhilafan dan bukan kesengajaan.


Panduan Pengisian Bupot BP21 Tambahan


Untuk formulir BP21 tambahan dengan kode 21-100-38, ikuti langkah berikut:


  • Gunakan masa pajak yang belum dilaporkan setelah koreksi dilakukan, misalnya Februari 2025.

  • Isi NPWP dan NITKU dengan identitas khusus yang telah ditentukan DJP (999...).

  • Pilih objek pajak “Penyesuaian Nilai Kompensasi dari Masa Pajak Sebelumnya”.

  • Isi penghasilan bruto, DPP, dan tarif sebesar nol.

  • Isi nilai koreksi di kolom “pajak penghasilan”.

  • Cantumkan dokumen referensi sesuai keperluan administratif.


Penting untuk dicatat bahwa Bupot tambahan ini akan menambah jumlah pajak kurang bayar di masa pajak berikutnya, dan tidak bisa dikreditkan dalam SPT Tahunan. Statusnya bersifat final.


Catatan Akhir


Pemanfaatan formulir tambahan dengan kode objek 21-100-38 ini diharapkan dilakukan secara bijak dan sesuai kondisi nyata. Hal ini sejalan dengan semangat transparansi dan akurasi dalam administrasi perpajakan berbasis digital.