Memasuki tahun 2025, pemerintah kembali mengambil langkah strategis dalam menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan sektor industri yang padat karya. Salah satu upaya tersebut diwujudkan melalui pemberlakuan kebijakan insentif perpajakan, yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah (PPh 21 DTP). Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, dan difokuskan kepada pekerja di sektor-sektor industri tertentu yang dinilai strategis.
Lewat kebijakan ini, beban pajak yang sebelumnya dipotong dari penghasilan karyawan kini akan dibayarkan langsung oleh negara. Artinya, penghasilan bersih pegawai akan meningkat tanpa pengurangan untuk pajak, dan di sisi lain, perusahaan mendapat kelonggaran dari sisi biaya operasional.
Secara teknis, PPh 21 DTP berarti pajak yang biasanya dipotong oleh pemberi kerja dari gaji karyawan, kini dialihkan pembayarannya kepada pemerintah. Dengan demikian, karyawan akan menerima gaji secara penuh. Namun penting dipahami bahwa tidak semua karyawan otomatis mendapatkan fasilitas ini, meskipun penghasilannya di bawah Rp10 juta. Kebijakan ini hanya berlaku untuk sektor dan jenis pekerjaan tertentu.
Oleh karena itu, baik pekerja maupun pengusaha perlu memahami dengan saksama isi dari PMK 10/2025 agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasinya.
Banyak yang menyangka bahwa selama penghasilan bruto di bawah Rp10 juta, maka secara otomatis PPh 21-nya akan ditanggung oleh pemerintah. Anggapan ini keliru. PPh 21 DTP hanya berlaku bagi karyawan di industri padat karya tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti industri tekstil, alas kaki, furnitur, serta kulit dan produk kulit.
Tanpa memenuhi semua persyaratan administratif dan substantif yang disebutkan dalam PMK 10/2025, hak atas insentif ini tidak bisa diberikan, meski gaji pegawai berada dalam batas penghasilan yang disebutkan.
Untuk bisa menikmati insentif ini, ada dua syarat utama:
Industri Tempat Bekerja: Harus merupakan industri padat karya yang masuk dalam daftar sektor prioritas pemerintah.
Besaran Penghasilan:
Untuk pegawai tetap: Penghasilan bruto bulanan tidak boleh melebihi Rp10 juta.
Untuk pegawai tidak tetap (harian, mingguan, atau borongan): Penghasilan harian tidak boleh melebihi Rp500 ribu, dengan total penghasilan bulanan tetap di bawah Rp10 juta.
Seluruh komponen penghasilan tetap, termasuk tunjangan dan natura yang bersifat rutin, diperhitungkan dalam batas penghasilan ini.
Hal unik dalam kebijakan ini adalah bahwa penghasilan yang dijadikan acuan bukan yang dibayarkan pada bulan tertentu, melainkan yang tertera dalam kontrak kerja atau perjanjian kerja bersama.
Contoh: Jika di awal kontrak disebutkan gaji Rp9,5 juta, lalu pada bulan Oktober naik jadi Rp11 juta, maka insentif tetap berlaku untuk sepanjang tahun 2025. Tapi bila sejak awal kontrak sudah menyebutkan Rp11 juta, meskipun ada potongan sementara yang menurunkan gaji aktual, pegawai tersebut tidak memenuhi syarat.
Bonus, THR, lembur, atau insentif insidental lainnya tidak menggugurkan hak atas PPh 21 DTP, selama komponen tersebut tidak masuk dalam penghasilan rutin bulanan. Ini memberikan ruang fleksibilitas bagi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan tanpa mengorbankan hak insentif.
Agar insentif ini bisa dimanfaatkan secara sah, perusahaan wajib:
Membuat bukti potong PPh 21 seperti biasa, namun tidak memotong dari gaji pegawai.
Melaporkan pajak yang dibayarkan pemerintah dalam SPT Masa PPh 21/26.
Menyelesaikan seluruh pelaporan paling lambat tanggal 31 Januari 2026.
Keterlambatan atau kesalahan pelaporan bisa membuat insentif dianggap tidak sah, dan pajak harus dibayarkan ulang. Artinya, baik perusahaan maupun pegawai bisa terkena dampaknya—baik dari sisi beban finansial maupun hubungan kerja.
Kelebihan pembayaran pajak yang timbul akibat kesalahan juga tidak bisa diklaim kembali, sehingga akurasi dalam administrasi menjadi sangat penting.
Pegawai perlu memastikan data perpajakan seperti NPWP atau NIK sudah terdaftar valid. Selain itu, penting juga mengetahui apakah tempat kerja masuk dalam kategori industri yang berhak atas insentif ini. Komunikasi aktif dengan HR atau bagian keuangan akan membantu memastikan hak-hak Anda terpenuhi.
Kebijakan PPh 21 DTP bukan hanya soal pengurangan beban pajak, tapi juga bentuk nyata komitmen pemerintah dalam menopang sektor produktif dan kesejahteraan tenaga kerja. Di tengah ketidakpastian global, kebijakan ini menjadi alat penting untuk menjaga konsumsi domestik dan mendukung keberlangsungan industri dalam negeri.
Bila jutaan pekerja dapat membawa pulang gaji penuh, maka efek ganda akan terasa pada peningkatan konsumsi masyarakat. Sementara itu, perusahaan dapat mengalihkan dana yang sebelumnya untuk pajak ke hal-hal yang lebih produktif seperti pelatihan, peningkatan kualitas SDM, atau ekspansi usaha.
Keberhasilan implementasi kebijakan ini bergantung pada kepatuhan dan peran aktif semua pihak. Pemerintah telah menyediakan regulasi dan kanal pelaporan, namun manfaat kebijakan ini hanya akan optimal bila pegawai dan perusahaan turut aktif dan disiplin.
Direktorat Jenderal Pajak pun terus menggalakkan sosialisasi melalui berbagai saluran agar pemahaman terhadap PMK 10/2025 semakin meluas.
Langkah kecil seperti memeriksa validitas NPWP atau menanyakan ke HR tentang pelaporan insentif bisa menjadi penentu besar apakah Anda akan merasakan manfaat kebijakan ini secara langsung. Mari bersama-sama dukung kebijakan fiskal yang inklusif ini, demi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
2025-10-22 13:56:42
2025-10-20 17:00:34
2025-10-17 13:48:24
2025-10-15 16:10:34
2025-10-13 09:58:20
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved